Rabu, 26 Februari 2014


http://adf.ly/FdHa9

NALISIS KEBIJAKAN PUBLIK DALAM IMPLEMENTASI
DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH
KABUPATEN/KOTA DI INDONESIA

Oleh: Idi Jahidi )*


Abstrak
Pelaksanaan otonomi di daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan sekarang telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menyebabkan terjadinya perubahan yang sangat mendasar mengenai pengaturan hubungan Pusat dan Daerah. Dampak perubahan yang luas dan mendasar khususnya dalam bidang administrasi pemerintahan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Permasalahan yang dihadapi oleh daerah kabupaten/kota dalam melaksanakan otonomi daerah adalah: a) pengembangan kemampuan sumber daya manusia; b) pendistribusian sumber daya yang ada; c) peningkatan partisipasi masyarakat; d) peningkatan keswadayaan; dan e) Pembangunan hubungan yang harmonis antar komponen masyarakat, terutama masyarakat, pengusaha, dan penmerintah.

Pendahuluan
Dalam rangka melaksanakan otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, bahwa pemberian otonomi kepada daerah kabupaten/kota didasarkan atas azas desentralisasi dalam wujud otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab. Pemberian kewenangan atas dasar azas desentralisasi tersebut, menyebabkan semua bidang pemerintahan yang diserahkan kepada daerah dalam rangka pelaksanaan suatu otonomi pada dasarnya menjadi wewenang dan tanggung jawab pemerintah daerah kabupaten dan kota sepenuhnya, baik yang menyangkut penentuan kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, dan evaluasi.
Menurut Syaukani (2002: 211) dikatakan bahwa kebijaksanaan tentang otonomi daerah, memberikan otonomi yang sangat luas kepada daerah, khususnya kabupaten dan kota. Otonomi daerah dilaksanakan dalam rangka mengembalikan harkat dan martabat masyarakat di daerah, memberikan peluang pendidikan politik dalam rangka peningkatan kualitas demokrasi di daerah, peningkatan efisiensi pelayanan publik di daerah, peningkatan percepatan pembangunan di daerah, dan pada akhirnya diharapkan pula penciptaan cara berpemerintahan yang baik (good governance).
Pemberian dan wewenang dan tanggung jawab sebagaimana diatur dalam undang-undang tersebut, harus diimbangi dengan pembagian sumber-sumber pendapatan yang memadai yang mampu dan mendukung pelaksanaan wewenang dan tanggung jawab yang diberikan.
Di era otonomi saat ini,upaya untuk tetap mengandalkan sumbangan dan bantuan dari Pemerintah Pusat atau tingkatan pemerintahan yang lebih tinggi sudah tidak bias dipertahankan lagi. Otonomi menuntut kemandirian daerah di berbagai bidang, termasuk kemandirian di dalam mendanai dan pelaksanaan pembangunan di daerahnya. Oleh karena itu, daerah dituntut agar berupaya untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), guna mengurangi ketergantungan terhadap Pemerintah Pusat.
Pemberlakuan Undang-Undang tersebut menambah kewenangan yang dimiliki daerah, maka tanggung jawab yang diemban oleh Pemerintah Daerah juga akan bertambah banyak. Mahfud MD (2000: 49) mengemukakan implikasi dari adanya kewenangan urusan pemerintahan yang begitu luas yang diberikan kepada daerah dalam rangka otonomi daerah, dapat merupakan berkah bagi daerah, namun pada sisi lain bertambahnya kewenangan daerah tersebut sekaligus juga merupakan beban yang menuntut kesiapan daerah untuk melaksanakannya, karena semakin bertambahnya urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah. Untuk itu ada beberapa aspek yang harus dipersiapkan, yaitu: Sumber Daya Manusia, Sumber Daya Keuangan, sarana, dan prasarana.
Dalam tulisan ini bermaksud menganalisis bagaimana penanganan yang telah dilakukukan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam melaksanakan program-program guna terwujudnya desentralisasi dan otonomi daerah yang diharapkan. William N. Dunn (1981: 111-112) menyebutkan bahwa model analisis kebijakan yang dapat dilakukan dengan cara diperbandingkan dan dipertimbangkan menurut sejumlah asumsi, yang paling penting diantaranya: a) perbedaan menurut tujuan, b) bentuk penyajian, c) fungsi metodologis. Sehingga ada dua bentuk pokok dari model kebijakan adalah : (1) model deskriptif, dan (2) model normatif.
Hessel Nogi S. (2000: 1-3) Kebijakan publik sebagai suatu disiplin ilu tersendiri memperlihatkan tiga tampilan dalam cakupan studinya yaitu menentukan arah umum yang harus ditempuh untuk mengelola isu-isu yang ada di tengah masyarakat, menentukan ruang lingkup masalah yang dihadapi pemerintah, dan mengetahui betapa luas dan besarnya organisasi birokrasi publik ini. Kemampuan analisis kebijakan publik amat bergantung pada objektivitas dan keakuratan informasi, serta kepekaan seorang analisis untuk menempatkan masalah publik secara proporsional dengan memperhatikan semua stakeholders yang terlibat. Kepekaan ini perlu diasah melalui pendalaman kasus-kasus kebikan publik yang terjadi pada masyarakat sekitar dengan memperhatikan faktor rasionalitas serta wacana publik secara kontekstual.

Implementasi Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah dapat dilihat dari dua aspek, yaitu: aspek output dan aspek outcomes kebijakan. Kedua aspek tersebut memiliki ukuran atau indikator yang berbeda dalam penilaian keberhasilan.

1. Output Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Output kebijakan secara konsepsi harus diukur berdasarkan substansi kebijakan, yang item-itemnya menggambarkan tujuan yang ingin dicapai dari kebijakan tersebut. Namun demikian, tidak semua item tujuan kebijakan dapat dilakukan pengukuran keberhasilan, sebab ada beberapa kebijakan public yang tujuan akhirmya (output-nya) baru dapat dilihat beberapa tahun kemudian.
Output kebijakan desentralisasi dapat dilihat dari beberapa aspek antara lain:
a. Pertumbuhan ekonomi masyarakat
Untuk mengetahui apakah program Pemerintah Daerah dalam rangka pelaksanaan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah adalah dari sejauh mana dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat. Asumsinya adalah intervensi Pemerintah Daerah masih memegang peranan penting dalam mendukung pertumbuhan ekonomi masyarakat di daerah. Tanpa program pembangunan ekonomi yang konkret dari Pemerintah Daerah, sukar bagi daerah untuk mengalami kemajuan di bidang ekonomi.
Bertitik tolak dari asumsi tersebut, maka keberhasilan pelaksanaan program Pemerintah Daerah, khususnya yang dilakukan oleh dinas-dinas di daerah yang memiliki akses langsung dengan kegiatan ekonomi masyarakat adalah relevan dijadikan indicator ertumbuhan ekonomi masyarakat. Dengan catatan  bahwa bila program tersebut dalam dua tahun anggaran terakhir berhasil diimplementasikan, maka akan berdampak terhadap kemajuan ekonomi masyarakat di masa yang akan dating. Demikian sebaliknya apabila program tersebut dalam dua tahun anggaran terakhir gagal dilaksanakan (tidak mencapai sasaran) maka dampaknya bagi kemajuan ekonomi masyarakat negatif (rendah). Bidang-bidang yang dapat dijadikan indicator dalam pertumbuhan ekonomi masyarakat, misalnya: perkembangan sektor pertanian, perkembangan sektor pertambangan dan energi, perkembangan sektor industri, perkembangan sektor pariwisata, dan lain-lain.
b. Peningkatan kualitas pelayanan publik
Untuk melihat sejauh mana dampak pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah dapat dilihat dari kualitas pelayanan public. Beberapa pelayanan yang sering diberikan oleh Pemerintah Daerah kepada masyarakat, antara lain: pelayanan bidang pertanian, pelayanan bidan pertambangan dan energi, pelayanan bidang perindustrian, pelayanan bidang pariwisata, seni, budaya, dan lain-lain.
c. Fleksibilitas program pembangunan
Fleksibilitas program pembangunan berkenaan dengan kemampuan aparat pelaksana memahami tuntutan masyarakat, tidak kaku dalam memahami prosedur dan aturan-aturan formal, mengedepankan kepentingan masyarakat di atas kepentingan pribadi, peka terhadap ketidakadilan dan ketidakpuasan yang berkembang di masyarakat, dan dalam setiap langkah dan tindakan berusaha melakukan penyesuaian terhadap perkembangan kebutuhan masyarakat.
Dalam konteks analisis ini, pertanyaan yang relevan diajukan adalah: apakah aparat pemerintah daerah dan instansi teknis (dinas) memiliki keleluasaan (discretion of power) dalam mengelola bidang urusan pemerintah yang diterimanya (sesuai dengan kebutuhan daerah dan tintutan masyarakat daerah)? Ulasan berikut ini dengan mengetengahkan proses pelaksanaan program pembangunan dari empat bidang urusan pemerintahan sedikit banyak dapat menjawab pertanyaan yang telah diajukan tersebut di atas di dalam analisis.

2. Outcomes Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah
a. Peningkatan partisipasi masyarakat
Bagaimana agar partisipasi masyarakat dalam pembangunan meningkat? Salah satu jawaban yang diberikan para ahli adalah melalui kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Dengan diserahkannya sebagian besar urusan pemerintahan di daerah, diharapkan masyarakat bisa mengambil bagian (partisipasi aktif) mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai pada pengawasan dan pemeliharaan hasil pembangunan.
Secara apriori, konsep partisipasi yang dikehendaki oleh kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah kelihatannya terlampau muluk untuk bisa direalisasikan. Sebab, selama ini (peran pemerintah terlampau dominan) yang menempatkan masyarakat tidak lebih sebagai objek pembangunan atau pihak yang hanya “penonton”. Benarkah melalui implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang dicanangkan telah memberi dampak terhadap peningkatan partisipasi masyarakat di Kabupaten/kota di Indonesia?
b. Efektivitas pelaksanaan koordinasi
Koordinasi adalah proses pengintegrasian tujuan-tujuan dan kegiatan-kegiatan dari satuan yang terpisah (unit-unit atau bagian-bagian) suatu organisasi untuk mencapai tujuan organisasi secara efisien. Tanpa koordinasi individu-individu dan bagian-bagian akan kehilangan pandangan tentang peran mereka dalam organisasi. Mereka akan mengejar kepentingannya masing-masing yang khas, seringkali dengan mengirbankan tujuan organisasi. Namun, kebutuhan akan koordinasi tergantung pada sifat dan perlunya komunikasi dari tugas-tugas yang dilakukan dan ketergantungan berbagai subunit yang melaksanakan tugas-tugas tersebut. Koordinasi juga bermanfaat bagi pekerjaan yang tidak rutin dan tidak diperkirakan sebelumnya, dimana pekerjaan-pekerjaan ketergantungannya tinggi. Kebutuhan koordinasi dapat dibedakan dalam tiga keadaan, yaitu: (a) kebutuhan koordinasi atas ketergantungan kelompok (pooled interdependence); (b) kebutuhan koordinasi atas ketergantungan sekuensial (sequential interdependence), dan (c) kebutuhan koordinasi atas ketergantungan timbal balik (reciprocal interdependence).
Ketergantungan kelompok terjadi apabila unit organisasi tidak tergantung satu sama lain untuk melaksanakan pekerjaan sehari-hari, tetapi tergantung pada prestasi yang memadai dari setiap unit demi tercapainya hasil akhir. Sedang, kebutuhan koordinasi atas ketergantungan sekuensial, terjadi pada suatu unit organisasi yang harus melaksanakan kegiatan (aktivitas) terlebih dahulu sebelum unit-unit selanjutnya dapat bertindak. Sementara, ketergantungan timbal balik terjadi apabila melibatkan hubungan saling memberi dan menerima dan saling menguntungkan diantara unit-unit.
Dalam proses pelaksanaan berbagai kegiatan bidang urusan otonomi, terutama dalam hal pelaksanaan program pembangunan, terdapat beberapa unit organisasi yang saling terkait dan melibatkan hubungan secara fungsional yaitu antara lain: Bupati/Kepala daerah, organisasi dinas (instansi teknis), Bappeda, dan Kepala Bagian Keuangan Setwilda. Setiap program kerja tahunan dinas daerah, sebelum disetujui oleh Bupati/Kepala Daerah terlebih dahulu diteliti oleh Bappeda dan Bagian Keuangan.
Dari uraian di atas, dapat ditarik konklusi bahwa dilihat dari aspek output kebijakan, maka implementasi kebijakan desentralisasi dapat dikatakan relatif berhasil. Namun dilihat dari aspek outcomes kebijakan, ternyata banyaknya urusan yang telah diterima (desentralisasi) oleh Kabupaten/Kota justru menjadi beban berat bagi daerah. Harapan kebijaksanaan seperti memacu pertumbuhan ekonomi masyarakat berbagai program pembangunan (proyek), pelaksanaannya belum efektif.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Berdasarkan hasil analisis lapangan dengan menggunakan indikator output kebijakan dan outcomes kebijakan, kesimpulan menunjukkan bahwa implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah belum memberikan hasil sebagaimana yang diharapkan, dengan kata lain kinerja kebijakan masih relatif rendah.
Berdasarkan kajian teori (konsep) dari para ahli kebijakan dan ahli otonomi daerah sebagaimana telah dikemukakan di atas, serta hasil analisis di lapangan, telah diidentifikasi bahwa ada empat variabel yang dapat menjelaskan bahwa kinerja implementasi desentralisasi dan otonomi daerah di Kabupaten/Kota, yaitu aspek manajerial, aspek SDM organisasi, aspek budaya birokrasi, dan etika pelayanan publik.

1. Aspek Manajerial
Keampuan kepemimpinan Bupati/Kepala Daerah Bupati selaku top manajer di Daerah memegang peranan penting akan keberhasilan implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Mengingat kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah masih merupakan suatu yang baru bagi pemerintah daerah serta memiliki tujuan yang begitu luas dan kompleks, jelas memerlukan suatu kemampuan seorang Bupati dalam memanage agar tujuan kebijakan yang begitu luas dan komleks bisa dipahami oleh semua pihak yang berkepentingan (stakeholders). Dalam manajemen modern, setiap organisasi harus memiliki visi dan misi yang jelas, sebagai acuan bagi semua komponen dalam melaksanakan aktivitasnya. Visi organisasi tersebut sedapat mungkin disosialisasikan kepada karyawan, menjadi visi bersama yang harus diperjuangkan (Ordway Tead, 1954).
Kendala yang dihadapi dalam merealisasikan misi yang telah ditetapkan adalah lebih disebabkan oleh pelaksanaan program kerja yang belum terdesain secara baik. Sebagian besar dinas di daerah selaku pelaksana teknis urusan otonomi daerah belum didukung dengan renstra yang memiliki logframe yang baik yang memuat program-program yang dianggap strategis bagi kemajuan daerah.
Dari uraian di atas, bahwa kemampuan manajerial pimpinan daerah cukup baik dalam mewujudkan visi, misi, dan tujuan yang telah ditetapkan, tetapi belum didukung oleh SDM pelaksana programnya maupun anggaran yang tersedia. Kondisi ini jelas berimplikasi terhadap kinerja kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah sebagaimana yang telah dipaparkan di muka.

2. Aspek SDM Organisasi
Ketersediaan Sumber daya Manusia (SDM) organisasi (dinas daerah) sangat penting dalam implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. SDM dimaksud antara lain mencakup karyawan yang harus mempunyai keahlian dan kemampuan melaksanakan tugas, perintah, dan anjuran atasan (pimpinan). Di samping itu, harus ada ketepatan dan kelayakan antara jumlah karyawan yang dibutuhkan dan keahlian yang dimiliki sesuai dengan bidang tugas yang akan dikerjakan (Salusu, 1988: 493).
a. Ketercukupan Pegawai Dinas Daerah
Waktu yang dibutuhkan Pemerintah daerah dalam membenahi organisasi dinas daerah kurang lebih satu tahun. Dengan jumlah pegawai dari setiap dinas atau instansi yang ada pada kenyataannya kurang mencukupi untuk melayani ara pengguna jasa atau masyarakat yang optimal. Padahal sektor-sektor ini memiliki kedudukan yang strategis untuk menggerakkan perekonomian daerah setempat.
Sejauh yang diketahui belum ada suatu analisis yang bisa menyimpulkan bahwa semakin besar jumlah karyawan pada suatu organisasi, maka kinerja organisasi tersebut meningkat (Notoatmodjo, 1998: 8). Namun demikian, perlu mencermati bahwa pada organisasi birokrasi, seperti pada beberapa dinas daerah, terdapat suatu budaya birokrasi di mana para karyawan yang menduduki jabatan cenderung bergaya “aristokrat, dalam engertian selalu merasa diri sebagai boss” yang termanifestasi di dalam kerja seharian.
Untuk pekerjaan administrasi, misalnya mengetik surat, mengantar surat, mengatur kebersihan ruangan, dan sejenisnya, umumnya tidak mau dilakukan oleh karyawan yang memiliki eselon, dan hanya mengharapkan staf atau karyawan bawahan. Budaya kerja dan perilaku seperti ini jelas secara tidak langsung ikut mempengaruhi kinerja organisasi.
Berdasarkan kondisi tersebut, bahwa andaikan saja para karyawan mau melakukan pekerjaan apa saja demi berjalannya aktivitas organisasi, tanpa terbelenggu dengan berbagai titel dan jabatan, maka kegiatan organisasi akan berjalan secara lancar, dan pada akhirnya berdampak pada meningkatnya kinerja organisasi dinas. Sebab, dalam realitas keseharian, banyak karyawan yang hanya bersantai-santai pada jam kantor dan pada saat yang sama banyak pekerjaan kantor yang bersifat rutin terabaikan. Dengan demikian, maka sedikitnya jumlah karyawan dinas daerah serta masih terpeliharanya budaya kerja santai dari para karyawan menyebabkan banyak bidang pekerjaan terbengkalai. Implikasi lebih lanjut adalah gagalnya dinas daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan berdasarkan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah.
b. Kesesuaian Kualifikasi Pendidikan Karyawan
Dengan bidang tugas yang diemban SDM yang berkualitas merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan suatu organisasi dalam menjalankan misinya. Untuk mendapatkan SDM yang berkualitas, ada dua jalur yang biasanya ditempuh, yaitu: pertama melalui sistem seleksi ketat dengan persyaratan tertentu untuk suatu bidang pekerjaan; dan kedua melalui pendidikan/pelatihan tambahan setelah menjadi karyawan atau melalui model magang (learning by doing).
Secara konsepsi, organisasi yang memiliki SDM yang terbatas tetapi berkualitas akan jauh lebih berhasil dibandingkan dengan organisasi yang memiliki jumlah karyawan banyak tetapi kualitas SDMnya rendah. Dan yang lebih parah lagi adalah SDM yang terbatas dengan kualitas yang rendah. Persoalan kualitas SDM akan terasa pengaruhnya ketika organisasi mulai menghadapi pekerjaan-pekerjaan yang spesifik yang membutuhkan kualifikasi pendidikan atau skill tertentu.
Tidak berjalannya sistem seleksi dan rekrutmen dalam proses pemenuhan kebutuhan pegawai pada sejumlah dinas daerah merupakan faktor utama yang menyebabkan kurangnya jumlah karyawan yang memiliki kualifikasi pendidikan yang cocok dengan bidang tugasnya yang diemban. Prinsip the right men on the right place kurang diperhatikan dalam sistem rekrutmen pada jabatan-jabatan yang ada di dinas daerah. 
Dari uraian di atas, bahwa minimnya karyawan dinas daerah yang memiliki kualifikasi pendidikan yang cocok dengan tugas bidang pekerjaannya, telah ikut memberi kontribusi terhadap rendahnya kinerja implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, yang terefleksi dari kinerja dinas daerah menjalankan tugasnya.

3. Aspek Budaya Birokrasi
Secara nasional birokrasi pemerintah yang ada di Indonesia memiliki ciri-ciri yang hampir sama, di mana unsur paternalisme amat kental dalam pola hubungan yang bersifat internal organisasi maupun pada tataran eksternal organisasi. Hubungan antara bawahan dan pimpinan berada pada posisi di mana bawahan cenderung berusaha melayani dan memuaskan atasan. Kondisi ini secara otomatis akan mengurangi kualitas layanan yang diberikan birokrasi kepada masyarakat sebagai pengguna jasa.
Pada sisi lain budaya lokal juga memberikan warna tersendiri terhadap budaya birokrasi pemerintah, terutama pemerintah daerah setempat. Akan berbeda tampilan birokrasi pemerintah di wilayah Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali maupun Papua. Hal ini terutama berkaitan dengan pola pengambilan keputusan , dimana kebanyakan birokrasi di pulau Jawa terutama Jawa Tengah dan Yogyakarta, akan sangat berhati-hati untuk membuat keputusan terutama berhubungan dengan keputusan diskresi. Kehati-hatian ini akan berakibat pada lambannya pelayanan publik yang diberikan kepada masyarakat sebagai pengguna jasa.
Secara umum tampilan birokrasi pemerintah di Indonesia, baik di tingkat pusat maupun daerah masih diwarnai dan dilingkupi oleh sifat feodalisme yang tinggi, sebagai himbasan dari pola kerja birokrasi selama orde baru yang memerintah selama lebih dari 32 tahun. Pola kerja yang kental dengan unsur feodalisme ini, terasa terus dipertahankan oleh kelompok-kelompok yang dalam birokrasi karena berbagai kepentingan ekonomi politik yang ada.
Nilai budaya masyarakat yang sebagian besar berkiblat pada sektor agraris, dengan corak utama para pelaku untuk cenderung mempertahankan keharmonisan antar elemen dan menghindari konflik atau friksi yang dianggap akan merugikan semua pihak. Pola pikir dan mental seperti ini menghasilkan suatu kondisi pada habitat birokrasi yang tidak memungkinkan terjadinya kritik maupun autokritik terhadap keputusan atau kebijakan pimpinan, walaupun dampak keputusan itu merugikan bawahan dan masyarakat yang luas. Dari sinilah dapat dilihat garis hubungan antara nilai yang masih dianut dalam masyarakat yang berpola pikir agraris dengan perilaku birokrasi, karena proses adopsi yang terjadi di dalamnya. Pola inipun masih terjadi di kalangan birokrasi pemerintah Kabupaten/Kota di Indonesia, sehingga kinerja birokrasi dalam pemberian pelayanan belum berjalan secara optimal.
Di samping itu, pilihan sentralisme dalam penyelenggaraan birokrasi pemerintah telah menimbulkan persoalan tersendiri terhadap kualitas pelayanan kepada masyarakat pengguna jasa, karena kinerja birokrasi menjadi rigid yang disebabkan pengambilan posisi yang lebih tinggi dari pihak birokrasi terhadap masyarakat. Kondisi demikian ini jelas pada era globalisasi dan penguatan civil society akan semakin berseberangan dengan upaya semua komponen masyarakat untuk menerapkan prinsip good governance yang memprioritaskan asas akuntabilitas, responsibilitas, maupun asas transparansi dalam pelayanan publiknya.
Sentralisme ini secara langsung berdampak pada tampilan budaya birokrasi yang lingkungannya bernuansa diskriminatif dan mengandalkan preferensi subjektivitas dalam pemberian pelayanan kepada  pengguna jasa maupun dalam pola hubungan internal organisasi birokrasi. Sentralisme akan mengakibatkan berkurangnya pertanggungjawaban terhadap publik, karena menciptakan budaya kurang peduli pihak birokrasi terhadap kemajuan maupun perubahan sosial ekonomi sebagai tujuan dari pelaksanaan pembangunan, dimana birokrasi merupakan motor penggeraknya. Fenomena yang ada memperlihatkan bahwa kinerja birokrasi tidak optimal, karena faktor koordinasi yang lemah, etos kerja yang tidak mendukung, serta disiplin kerja yang kurang, sehingga banyak tugas pelayanan kepada para pengguna jasa menjadi terbengkalai dan membutuhkan waktu yang berlarut-larut untuk menyelesaikannya.
Pola pikiryang mengungkapkan peraturan secara kaku melalui penerapan dan penafsiran juklak (petunjuk pelkasanaan) dan juknis (petunjuk teknis), membuat birokrasi pemerintah menjadi kaku dan tidak luwes dalam pemberian pelayanan publik. Struktur hierarkis birokrasi publik menjadikan aparatur pemerintah menjadi tunduk secara tidak proporsional kepada pimpinan dan melupakan tugasnya sebagai agen perubahan melalui pemberian pelayanan kepada masyarakat.
Dari uraian di atas, menunjukkan bahwa sesungguhnya birokrasi pemerintah yang ada di Indonesia masih jauh dari harapan untuk memberikan pelayanan prima kepada masyarakat pengguna jasa, akibat pengaruh budaya birokrasi yang mengadopsi budaya masyarakat lokal, yang justru cenderung mengagungkan posisi birokrasi dan menganggap masyarakat lebih rendah daripadanya. Unsur feodalisme, paternalisme dan penggunaan asas sentralisme yang berkolaborasi dengan budaya birokrasi yang mengagungkan otoritas pimpinan sebagai titik sentral jelas semakin memperlemah posisi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang berkualitas dan mampu melakukan perubahan sosial ekonomi melalui pelaksanaan pembangunan.






atau 



http://adf.ly/FdHa9


Seorang anak gembala selalu menggembalakan domba milik tuannya dekat suatu hutan yang gelap dan tidak jauh dari kampungnya. Karena mulai merasa bosan tinggal di daerah peternakan, dia selalu menghibur dirinya sendiri dengan cara bermain-main dengan anjingnya dan memainkan serulingnya.
Suatu hari ketika dia menggembalakan dombanya di dekat hutan, dia mulai berpikir apa yang harus dilakukannya apabila dia melihat serigala, dia merasa terhibur dengan memikirkan berbagai macam rencana.
Tuannya pernah berkata bahwa apabila dia melihat serigala menyerang kawanan dombanya, dia harus berteriak memanggil bantuan, dan orang-orang sekampung akan datang membantunya. Anak gembala itu berpikir bahwa akan terasa lucu apabila dia pura-pura melihat serigala dan berteriak memanggil orang sekampungnya datang untuk membantunya. Dan anak gembala itu sekarang walaupun tidak melihat seekor serigala pun, dia berpura-pura lari ke arah kampungnya dan berteriak sekeras-kerasnya, "Serigala, serigala!"
Seperti yang dia duga, orang-orang kampung yang mendengarnya berteriak, cepat-cepat meninggalkan pekerjaan mereka dan berlari ke arah anak gembala tersebut untuk membantunya. Tetapi yang mereka temukan adalah anak gembala yang tertawa terbahak-bahak karena berhasil menipu orang-orang sekampung.
Beberapa hari kemudian, anak gembala itu kembali berteriak, "Serigala! serigala!", kembali orang-orang kampung yang berlari datang untuk menolongnya, hanya menemukan anak gembala yang tertawa terbahak-bahak kembali.
Pada suatu sore ketika matahari mulai terbenam, seekor serigala benar-benar datang dan menyambar domba yang digembalakan oleh anak gembala tersebut.
Dalam ketakutannya, anak gembala itu berlari ke arah kampung dan berteriak, "Serigala! serigala!" Tetapi walaupun orang-orang sekampung mendengarnya berteriak, mereka tidak datang untuk membantunya. "Dia tidak akan bisa menipu kita lagi," kata mereka.
Serigala itu akhirnya berhasil menerkam dan memakan banyak domba yang digembalakan oleh sang anak gembala, lalu berlari masuk ke dalam hutan kembali.
Pembohong tidak akan pernah di percayai lagi, walaupun saat itu mereka berkata benar.

Selasa, 25 Februari 2014

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

Negara-negara  yang  termasuk  dalam  wilayah  Asia  Tenggara  adalah  Indonesia, Malaysia, Filiphina, Myanmar, Singapura, Brunei  Darussalam, Thailand, Vietnam, Kampuchea, dan  Laos.
       Letak  Asia  Tenggara  sangat  strategis. Kekayaan  alamnya  sangat  melimpah. Ini  membuat  bangsa  lain  menjadi  iri  dan  ingin  menguasainya. Buktinya, sejak  abad  ke-15  bangsa  Eropa  sudah  mengacak-acak  Asia  Tenggara. Spanyol, Portugis, Inggris, Prancis, Amerika  Serikat, dan  Belanda  ke  Asia  Tenggara  tidak  hanya  ingin  berdagang. Penjajahan  bangsa  Inggris  atas  Malaysia, Singapura, Myanmar, dan  Indonesia; Penjajahan  bangsa  Spanyol  dan  Amerika  Serikat  atas  Filipina; penjajahan  bangsa  Belanda  atas  indonesia; penjajahan  bangsa  Prancis  atas  laos, Kampuchea, dan  Vietnam; serta  penjajahan  bangsa  Portugis  atau  Timor-Timur  adalah  contoh  nyata  betapa  besar  keinginan  bangsa  Eropa  dan  Amerika  menguasai  Asia  Tenggara.
       Negara-negara  yang  dijajah  tersebut  akhirnya  dapat  melepaskan  diri  dari  penjajahan. Mereka  merasa  senasib  dan  memiliki  banyak  persamaan. Persamaan-persamaan  tersebut  menimbulkan  perasaan  setia kawan. Akhirnya, ada  lima  negara  di  wilayah  Asia  Tenggara  sepakat  untuk  membentuk  sebuah  organisasi. Kelima  negara  tersebut  adalah  Indonesia, malaysia, Thailand, Singapura, dan  Filipina.
       Pada  tanggal  5-8  Agustus  1967  kelima  negara  tersebut  mengadakan  pertemuan  di  tepi  Pantai  Bangsaem, bangkok, Thailand. Pertemuan  tersebut  dihadiri  oleh  lima  orang  yang  merupakan  wakil  dari  lima  negara. Kelima  orang  tersebut  sebagai  berikut.
1.    Adam  Malik; Menteri  Presidium  Urusan  Politik/Menteri  Luar  Negeri  indonesia.
2.    Tun  Abdul  Razak; Wakil  Perdana  Menteri  Pembangunan  Malaysia.
3.    Thanat  khoman; Menteri  Luar  Negeri  Thailand.
4.    S. Rajaratnam; Menteri  Luar  Negeri  Singapura.
5.    Narciso  Ramos, Menteri  Luar  Negeri  Filipina.
       Pada  tanggal  8  Agustus  1967  di  Bangkok, Thailand  dan  melalui  penandatanganan  Deklarasi  Bangkok oleh  Menteri  Luar  Negeri  Filiphina, Indonesia,Thailand, Malaysia, dan  Singapura, maka  dibentuklah  sebuah  organisasi, yaitu  ASEAN  (Association  of  South  East  Asian  Nation).
  Negara-Negara  Anggota  ASEAN
        Mula-mula  anggota  ASEAN  hanya  lima  negara, yaitu  Indonesia, Malaysia, Thailand, Singapura  dan  Filiphina. Pada  tanggal  7  Januari  1984, negara  Brunei  Darussalam  menjadi  anggota  keenam  ASEAN. Selanjutnya, pada  tanggal  28  Juli  1995, negara  Vietnam  menjadi  anggota  ketujuh  ASEAN. Negara  Laos  dan  Myanmar  menjadi  anggota  kedelapan  dan  kesembilan  ASEAN  pada  tanggal  23  Juli  1997. Kampuchea  tidak  mau  ketinggalan. Negara  ini  bergabung  menjadi  anggota  kesepuluh  ASEAN  pada  tanggal  16  Desember  1998.  Pada  saat  ini, kesepuluh  negara  di  Asia  Tenggara  itulah  yang  menjadi  anggota  ASEAN
  Lambang  ASEAN
        Seperti  halnya  orgaisasi  lainnya, ASEAN  juga  mempunyai  lambang. Adapun  lambang  ASEAN  yang  dilukiskan  atau  digambarkan  sebagai  berikut.

Penjelasan  mengenai  simbol  tersebut,  adalah :
1.    Lingkaran, mengandung  arti  kesatuan  ASEAN. Dalam  logo  ASEAN  terdapat  dua  buah  lingaran, yaitu  lingkaran  luar  dan  lingkaran  dalam. Lingkaran  luar  berwarna  biru  melambangkan  perdamaian  dan  stabilitas. Lingkaran  dalam  berwarna  putih  melambangkan  kesucian  dan  ketulusan.
2.    Batang  padi  berjumlah  sepuluh, melambangkan  jumlah  anggota  ASEAN. Warna  kuning  padi  tersebut  melambangkan  kemakmuran.
3.    Tulisan  ASEAN  dan  lingkaran  lambang  berwarna  biru, melambangkan  persahabatan.
4.    Warna  dasar  merah, melambangkan  keteguhan  dan  kedinamisan.
 Secara  keseluruhan lambang  ASEAN  menggambarkan  hal-hal  berikut.
1.    Solidaritas  dan  kesepakatan  ASEAN
2.    Keterikatan  dalam  kerja  sama  demi  kemakmuran  rakyat  negara-negara  ASEAN.
3.    Setia  pada  perdamaian  dan  stabilitas  kawasan  ASEAN  dan  dunia  umumnya.
   Tujuan  Dibentuknya  ASEAN
           Tujuan  pembentukan  ASEAN  tertuang  dalam  Piagam  ASEAN  yang  memuat  hal-hal  sebagai  berikut.
1)      Memelihara  dan  meningkatkan  perdamaian, keamanan, dan  stabilitas  serta  lebih    memperkuat  nilai-nilai  yang  berorientasi  pada  perdamaian  di  kawasan;
2)      Meningkatkan  ketahanan  kawasan  dengan  memajukan  kerja  sama  politik, keamanan, ekonomi, dan  sosial  budaya  yang  lebih  luas;
3)      Mempertahankan  Asia  Tenggara  sebagai  Kawasan  Bebas  Senjata  Nuklir  dan  bebas  dari  semua  jenis  senjata  pemusnah  massal  lainnya;
4)      Menjamin  bahwa  rakyat  dan Negara-Negara  Anggota  ASEAN  hidup  damai  dengan  dunia  secara  keseluruhan  di  lingkungan  yang  adil, demokratis, dan  harmonis;
5)      Menciptakan  pasar  tunggal  dan  basis  produksi  yang  stabil, makmur, sangat  kompetitif, dan  terintegrasi  secara  ekonomis  melalui  fasilitasi  yang  efektif  untuk  perdagangan  dan  investasi, yang  di  dalamnya  terdapat  arus  lalu  lintas  barang, jasa-jasa  dan  investasi  yang  bebas; terfasilitasinya  pergerakan  pelaku  usaha, pekerja  profesional, pekerja  berbakat  dan  buruh; arus  modal  yang  lebih bebas;
6)      Mengurangi  kemiskinan  dan  mempersempit  kesenjangan  pembangunan  di  ASEAN  melalui  bantuan  dan  kerja  sama  timbal  balik;
7)      Memperkuat  demokrasi, meningkatkan  tata  kepemerintahan  yang  baik  dan  aturan  hukum, dan  memajukan  serta  melindungi  hak  asasi  manusia  dan  kebebasan-kebebasan  fundamental, dengan  memperhatikan  hak-hak  dan  kewajiban-kewajiban  dari  Negara-Negara  Anggota  ASEAN;
8)      Menanggapi  secara  efektif, sesuai  dengan  prinsip  keamanan  menyeluruh, segala  bentuk  ancaman, kejahatan  lintas-negara  dan  tantangan  lintas  batas;
9)      Memajukan  pembangunan  berkelanjutan  untuk  menjamin  perlindungan  lingkungan  hidup  di  kawasan, sumber  daya  alam  yang  berkelanjutan, pelestarian  warisan  budaya, dan  kehidupan  rakyat  yang  berkualitas  tinggi;
10)      Mengembangkan  sumber  daya  manusia  melalui  kerja  sama  yang  lebih  erat  di  bidang  pendidikan  dan  pembelajaran  dan  sepanjang  hayat, serta  di  bidang  ilmu  pengetahuan  dan  teknologi, untuk  pemberdayaan  rakyat  ASEAN  dan  penguatan  Komunitas  ASEAN;
11)      Meningkatkan  kesejahteraan  dan  penghidupan  yang  layak  bagi  rakyat ASEAN  melalui  penyediaan  akses  yang  setara  terhadap  peluang  pembangunan  sumber  daya  manusia, kesejahteraan  sosial, dan  keadilan;
12)      Memperkuat  erja  sama  dalam  membangun  lingkungan  yang  aman  dan terjamin  bebas  dari   narkotika  dan  obat-obat  terlarang  bagi  rakyat  ASEAN;
13)      Memajukan  ASEAN  yang  berorientasi  kepada rakyat  yang  di  dalamnya  seluruh  lapisan  masyarakat  didorong  untuk  berpartisipasi  dalam, dan  memperoleh  manfaat  dari, proses  integrasi  dan  pembangunan  komunitas  ASEAN;
14)      Memajukan  identitas  ASEAN  dengan  meningkatkan  kesadaran  yang  lebih  tinggi  akan  keanekaragaman  budaya  dan  warisan  kawasan; dan
15)      Mempertahankan  sentralitas  dan  peran  proaktif  ASEAN  sebagai  kekuatan  penggerak  utama  dalam  hubungan  dan  kerja  samanya  dengan para  mitra  eksternal  dalam  arsitektur  kawasan  yang  terbuka, transparan, dan  inklusif.
   Struktur  Organsisasi  ASEAN
         Struktur  lembaga  dan  mekanisme  di  ASEAN, antara  lain  sebagai  berikut.
1)Konferensi  Tingkat  Tinggi  (KTT)  ASEAN  sebagai  pengambil  keputusan  utama  yang  akan  memberikan  arah  kebijakan. KTT  diselenggarakan  minimal  2  kali  setahun. KTT  merupakan  pertemuan  tertinggi  dalam  ASEAN  yang  dihadiri  oleh  kepala  negara  ASEAN;
 2)Dewan  Koordinasi  ASEAN  (ASEAN  Coordinating  Council)  yang  terdiri  dari  para  Menteri Luar  Negeri  ASEAN  dengan  tugas  mengkoordinasi  Dewan  Komunitas  ASEAN  (ASEAN  Community  Councils);
3)Dewan  Komunitas  ASEAN  (ASEAN  Communiti  Councils)  dengan  ketiga  pilar  komunitas  ASEAN   yakni  Dewan  Komunitas  Politik-Keamanan  ASEAN  (ASEAN  Political-Security  Community  Council/APSCC), Dewan  Komunitas  Ekonomi  ASEAN  (ASEAN  Economic  Community  Council/AECC), dan  Dewan  Komunitas  Sosial-Budaya  (ASEAN  Socio-Cultural  Community  Council/ASCC);
4)Badan-badan  Sektoral  Tingkat  Menteri  (ASEAN  Sectoral  Ministerial  Bodies).
5)Komite  Wakil  Tetap  (Committee  of  Permanent  Representatives)  yang  terdiri  dari  wakil  tetap  negara  ASEAN, pada  tingkat  duta  besar  dan  berkedudukan  di  Jakarta.
6) Sekretaris  Jenderal  ASEAN  yang  dibantu  oleh  4(empat)  orang  wakil  sekretaris  jenderal dan  sekretariat  ASEAN.
7)Sekretariat  Nasional  ASEAN  yang  dipimpin  oleh  pejabat  senior  untuk  melakukan  koordinasi  internal  di  masing-masing  negara  ASEAN.
8) ASEAN  Human  Rights  Body, yang  akan  mendorong  perlindungan  dan  promosi  HAM  di  ASEAN.
9) Yayasan  ASEAN  (ASEAN  Foundation), yang  akan  membantu  Sekjen  ASEAN  dalam  meningkatkan  pemahaman  mengenai  ASEAN, termasuk  pembentukan  identitas  ASEAN.
10) Entities  associated  with  ASEAN.
  Kerja  Sama  ASEAN
          Hubungan  kerja  sama  ASEAN  saat  ini  meliputi  kerja  sama  di  bidang  ekonomi, DLL
1)   Kerja  Sama  Ekonomi
       Kerja  sama  ekonomi  ASEAN  ditujukan  untuk  menghilangkan  hambatan-  hambatan ekonomi dengan  cara  saling  membuka  perekonomian  negara- negara   anggota dalam  menciptakan  kesatuan  ekonomi  kawasan. Kerja  sama  ekonomi  mencakup  berbagai  kerja  sama di  sektor  perindustrian, perdagangan, dan  pembentukan  Kawasan  Perdagangan  Bebas  di  ASEAN  (AFTA).    
Keuntungan  Indonesia  dengan  Bergabung  Dalam  ASEAN
          Sebagai  sebuah  organisasi regional  di  kawasan  Asia  tenggara  yang  bersifat  non  militer  dan  non  politik, ASEAN  telah  mampu  menciptakan  stabilitas, perdamaian, dan  keteraturan  di  kawasan  sehingga  membantu  Indonesia  untuk  melanjutkan  program-program  pembangunan  di segala  bidang  dan  mendorong  Indonesia  untuk  menjadi  bangsa  yang  lebih  maju. Pada  intinya  hubungan  Indonesia  dengan  ASEAN  saling  menguntungkan.




atau 

Cara Download :
1. Klik Link/ Tulisan yang bergaris bawah
2. Anda akan menemukan halaman baru adf.ly
3. Klik pojok kanan atas SKIP AD.
4. Kini anda bisa Download  Gratis

Senin, 24 Februari 2014

BAB 3
`PEMBAHASAN
BERIKUT KERJASAMA ASEAN DAN INDONESIA DALAM BIDANG EKONOMI
1.KTT ke- 9 ASEAN di Bali tahun 2003 menghasilkan Bali Concord II yang menegaskan bahwa Komunitas Ekonomi ASEAN (AEC รข Asean Economic Community) akan diarahkan kepada pembentukan sebuah integrasi ekonomi kawasan. Pembentukan biaya transaksi perdagangan, memperbaiki fasilitas perdagangan dan bisnis, serta meningkatkan daya saing sektor UKM. Disamping itu, pembentukan AEC juga akan memberikankemudahan dan peningkatan akses pasar intra- ASEAN serta meningkatkan transparansi dan mempercepat penyesuaian peraturan- peraturan dan standarisasi domestik.
. Efektivitas Peran Indonesia dalam Kerja sama Regional


Indonesia sejauh ini sudah berpartisipasi aktif dalam mendorong perumusan Bali Concord II Oktober 2003 maupun Cebu Declaration 13 Januari 2007 yang kemudian mendorong percepatan pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN menjadi tahun 2015. Selain itu, Indonesia ikut meletakkan kerangka legal Piagam ASEAN (ASEAN Charter) pada 20 November 2007 sebagai basis komitmen. Politik luar negeri Indonesia pun juga jelas-jelas menyatakan bahwa ASEAN adalah batu penjuru bagi Indonesia sehingga tidak dapat dikatakan bahwa Indonesia tidak mendorong peningkatan kerja sama regional tersebut. Dalam dinamika regionalnya, Indonesia terbilang cukup konsisten dengan fokusnya tersebut, seperti yang terlihat dari dua indikator sebagai berikut:
1.    Indonesia memegang teguh the ASEAN Way
RI belum pernah secara eksplisit mencampuri urusan domestik negara-negara tetangganya (non-intervention). Indonesia bahkan melakukan inisiatif dalam menampung korban pengungsi Rohingya, contohnya, yang kita tahu merupakan pendatang ilegal karena krisis internal di Myanmar
2.    Indonesia juga memainkan polugri bebas aktif dan konsep balance of power dalam kerja sama regional
Indonesia tetap mendorong partisipasi terbatas dari dua negara besar seperti Amerika Serikat dan China dalam kerja sama regional. Ini dapat terlihat dari forum multilateral seperti ASEAN Regional Forum. Terkhusus mengenai kerja sama ekonomi, Indonesia juga mendorong kerja sama intrakawasan dengan negara-negara maju seperti ASEAN+3, dan juga inisiatif bilateral mutualisme seperti bilateral currency swap dengan
ChinAPTA dan FTA dengan Jepang, dll. Selain itu, mitra-mitra tradisional seperti Jepang, AS, Uni Eropa, dan China juga tetap menjadi partner dagang utama ASEAN yang secara bersama-sama memiliki pangsa pasar sekitar 44% dari total perdagangan ASEAN hingga tahun 2005.
Dari segi normatif dan kesiapan mengantisipasi MEA 2015, Indonesia mulai mendorong berdirinya lembaga-lembaga independen/institusi nasional seperti Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) maupun Badan Standardisasi Nasional (BSN), dan Balai Latihan Kerja (BLK) untuk mengawasi dan meningkatkan kualitas sumber daya manusianya, sekaligus membantu peningkatan kualitas tenaga kerja secara regional.
 Apabila pemerintah RI bisa fokus terhadap isu ini, asumsi terakhir tidak mungkin tidak menjadi teori dan kontribusi baru dalam peningkatan kerja sama ekonomi regional. Dalam bidang finansial dan investasi, Indonesia yang notabene tergabung dalam forum G-20 dan baru saja menyepakati komunike bersama tentang krisis finansial global, aktif dalam mendukung penanganan krisis secara multilateral, termasuk dalam penyediaan cadangan siaga IMF dan reformasi IMF itu sendiri (termasuk mendorong Chiang Mai Iniative/CMI bagi sektor finansial regionalnya). Sayangnya, hingga tulisan ini diturunkan, pengumuman ‘menggembirakan’ tersebut belum sempat dibahas dan ditindaklanjuti secara tuntas dalam forum ASEAN berhubung gagalnya KTT ASEAN di Phattaya, Thailand awal April lalu yang disebabkan oleh krisis internal Thailand.
Dengan berkaca pada indikator-indikator seperti di atas, hemat saya Indonesia sudah berperan efektif dalam integrasi regional ASEAN; RI konsisten dalam melakukan kebijakannya, meski sekali lagi perlu ditekankan bahwa hal tersebut kembali berpulang pada kesadaran dan political will RI untuk menyukseskan kerja sama ekonomi regional secara tuntas (even and complete) dan bertanggung jawab.
II. Efektivitas Peran Indonesia Terkait Kepentingan Domestiknya
Sebagai negara anggota ASEAN dengan jumlah pasar potensial sebesar 220 juta jiwa (55% dari total populasi ASEAN) di kawasan bernilai ekonomi sebesar lebih dari 1,1 triliun dollar AS,
 efektivitas peran Indonesia terhadap pembangunan domestiknya menjadi hal yang teramat penting untuk diabaikan begitu saja.
Kita semua tahu bahwa di atas kertas MEA 2015 akan membuka peluang bagi semakin bebasnya aliran modal, produk, jasa, hingga tenaga kerja ke seluruh kawasan ASEAN. Kesadaran itu sudah sepatutnya menjadi fokus RI dalam enam tahun yang tersisa sebelum konsep MEA 2015 itu benar-benar terealisasi. Implementasi konkretnya, RI masih harus memperbaiki playing field-nya, yakni seperti bagaimana meningkatkan kualitas/daya saing masyarakatnya, memperbaiki infrastruktur dan kerangka legal yang komprehensif, hingga meredifinisi politik luar negerinya. RI perlu membatasi dirinya pada kerja sama-kerja sama bilateral yang paling menguntungkan saja (terutama untuk jangka panjangnya), jangan sampai enam tahun yang tersisa malah terbuang sia-sia karena Indonesia belum sempat berbenah diri. Hal tersebut tidak berlebihan mengingat pamor dan kapabilitas (playing-field) negara besar seperti China mulai sedikit banyak ‘mendikte’ secara implisit orientasi ASEAN, sementara kekuatan pengimbang (balancing powers) seperti Jepang dan Korea Selatan mulai kedodoran, terutama setelah krisis finansial global menerjang.Proses pembenahan (management restructuring) ini masih terus berlangsung, dan membutuhkan perhatian serta kontribusi dari segenap aktor terkait, bukan hanya state actor itu sendiri. Salah satu indikator terbaik yang dapat saya kemukakan untuk menilai isu ini dapat dicermati dari neraca perdagangan RRI-RRC yang mulai timpang (harmful imbalance) hingga tahun 2008. Indonesia harus benar-benar fokus terlebih dahulu terhadap kesiapan domestiknya. Dengan demikian, peran RI baru bisa efektif, terutama bagi segenap rakyat Indonesia yang menjadi konstituennya.





atau 

Cara Download :
1. Klik Link/ Tulisan yang bergaris bawah
2. Anda akan menemukan halaman baru adf.ly
3. Klik pojok kanan atas SKIP AD.
4. Kini anda bisa Download  Gratis

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!